Kumbang Kotoran – Indikator dan Pendukung Kesehatan Ekosistem
Open PDF in new window.
Paul Manning1, Xin Rui Ong2, Eleanor M. Slade2
1Dalhousie University, Canada
2Asian School of the Environment, College of Science, Nanyang Technological University, Singapore
Kumbang kotoran adalah kelompok serangga yang menggunakan kotoran dari mamalia sebagai sumber pokok makanan dan bahan untuk bersarang. Kelompok kumbang ini penting untuk memecah dan mendaur ulang kotoran menjadi tanah dan mengembalikan nutrisi di dalam kotoran, seperti karbon dan nitrogen, untuk kembali ke lingkungan. Selain itu, aktivitas kumbang ini juga berguna untuk kesehatan dan berperan penting pada ekosistem alami ataupun yang telah dimodifikasi manusia. Beberapa peran dari kumbang kotoran meliputi penyebaran biji, mengurangi parasit hewan ternak, mendukung pertumbuhan tumbuhan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari kotoran. Pada artikel ini, kita akan mempelajari kehidupan kumbang kotoran dan melihat lebih jauh peran penting kumbang kotoran pada hutan tropis dan ekosistem pertanian.
PENGENALAN KUMBANG KOTORAN
Pembaca mungkin sudah ada yang mengenal kumbang kotoran dari menonton film documenter tentag alam. Peristiwa seekor kumbang menggulung bola dari kotoran hewan dengan terampilnya menjadi salah satu peristiwa yang sulit dilewatkan. Ternyata, kumbang kotoran dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia, kecuali Antartika (Gambar 1A-D)! Nama kelompok serangga ini didasarkan kepada kebiasaannya menggunakan kotoran mamalia sebagai makanan atau untuk bersarang, walaupun beberapa spesies kumbang kotoran lebih memilih daging membusuk, jamur, buah, bahkan kaki seribu atau semut mati! Seperti kumbang lainnya, kumbang kotoran memiliki dua pasang sayap, yaitu sebuah pasang bagian dalam yang fleksibel dan digunakan untuk terbang serta sebuah pasang sayap bagian luar yang keras sebagai pelindung. Semua kumbang kotoran memiliki antena yang melebar pada bagian ujung dan membentuk gada. Kumbang jantan dari beberapa spesies kelompok ini memiliki tanduk yang dapat digunakan untuk bertarung memperebutkan kumbang betina (Gambar 1C). Terdapat lebih dari 7.000 spesies kumbang kotoran yang berbeda dan spesies baru bahkan ditemukan tiap tahun.
Los Kumbang kotoran dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan kebiasaan makan dan bersarangnya (Gambar 2). Kelompok pertama adalah kumbang kotoran jenis penghuni. Kumbang kotran jenis penghuni akan datang ke tumpukan kotoran dan langsung bertempat tinggal di dalam kotoran. Di dalam tumpukan kotoran, kumbang jenis ini berkembang biak dan meletakkan telur. Setelah menetas, larva (tahap pra-dewasa dari kumbang kotoran) menghabiskan seluruh hidupnya memakan kotoran dalam tumpukan kotoran (Gambar 2A). Kelompok kedua dinamakan kelompok pembuat terowongan. Kumbang betina dari kelompok ini akan membuat terowongan di dalam tanah. Kemudian, kumbang kotoran akan mengambil bagian-bagian kecil dari kotoran dan meletakkannya di dalam terowongan serta membentuk sebuah bola kotoran. Kumbang jantan akan bersaing untuk mendapatkan kumbang betina, melindungi kumbang betina hingga kawin dan kumbang betina meletakkan telur di dalam kotoran (Gambar 2B). Kelompok terakhir adalah kelompok kumbang penggulung. Kumbang jantan akan mendekati kotoran, membentuk bola dari kotoran, dan menggulungkan bola tersebut menggunakan kaki belakangnya. Jika kumbang betina menyukai bola kotoran yang dibuat kumbang jantan, kumbang jantan akan membenamkan bola kotoran ke dalam
tanah. Setelah terkubur, kumbang betina akan meletakkan telur di dalam bola dan larva akan memakan kotoran dengan aman di dalam tanah sepanjang umur larva (Gambar 2C). Metode apapun yang digunakan kumbang kotoran untuk makan atau meletakkan telur, aktivitas kumbang kotoran ini menambahkan bahan organik ke dalam tanah. Hal ini luar biasa penting untuk hewan dan jasad renik di dalam tanah serta membantu menyediakan unsur hara untuk akar tumbuhan.
KUMBANG KOTORAN DALAM EKOSISTEM HUTAN TROPIS
Kumbang kotoran membentuk jaringan interaksi dengan hewan mamalia yang kotorannya mereka makan. Hewan mamalia dan kumbang kotoran juga memiliki hubungan dengan tumbuhan berbuah yang menghasilkan benih dan tersebar dalam kotoran mamalia (Gambar 3A). Akan tetapi, jika hewan mamalia ini punah, kumbang kotoran yang memakan kotoran mereka dan penyebaran biji tumbuhan melalui kotoran hewan mamalia akan terpengaruh [1] (Gambar 3B). Kami telah mempelajari interaksi antar hewan mamalia dan kumbang kotoran di beberapa hutan tropis di Brazil, Singapura, dan Malaysia. Hutan-hutan tropis ini telah kehilangan keanekaragaman karena deforestasi, fragmentasi lahan, dan perburuan. Hutan tropis menjadi semakin terganggu dan terfragmentasi menjadi bidang-bidang hutan yang lebih kecil sehingga jumlah hewan mamalia akan berkurang. Hal ini berakibat semakin sedikit kumbang kotoran yang dapat dijumpai. Kami menduga bahwa hubungan yang kompleks antara hewan mamalia, kumbang kotoran, dan tumbuhan berbuah akan menjadi semakin sederhana di daerah yang terganggu dan bidang hutan yang terisolasi dibandingkan bidang yang luas dan hutan tropis yang sehat.
Untuk menguji dugaan kami, kami memasang perangkap berumpan kotoran dari berbagai hewan mamalia di beragam jenis habitat, mulai dari hutan hingga perkebunan kelapa sawit. Kami juga mengamati area yang luas dengan hutan yang kontinu hingga bidang hutan yang sempit dan terisolasi. Kami menghitung dan mengidentifikasi kumbang yang tertarik ke tiap jenis kotoran yang kami gunakan pada tiap habitat. Kami menemukan bahwa kumbang kotoran di hutan tropis lebih resilien, artinya perubahan jumlah dan jenis yang ditemukan tidak berubah jauh ketika penebangan dan fragmentasi terjadi. Kami berpikir ini karena kumbang kotoran tidak terlalu memilih jenis kotoran yang mereka makan. Oleh karena itu, jika spesies hewan mamalia hilang dari suatu area, sebagian besar kumbang kotoran dapat menggunakan kotoran dari spesies mamalia lain (Gambar 3B). Kami menemukan bahwa beberapa kumbang kotoran bahkan memakan kotoran ular piton! Akan tetapi, walaupun jaringan interaksi lebih stabil pada daerah yang mengalami gangguan sedang, kami menemukan daerah yang sangat terganggu, seperti perkebunan kelapa sawit dan bidang hutan yang sempit, memiliki jaringanan interaksi yang menjadi lebih sederhana. Ini ditunjukkan oleh jumlah spesies kumbang kotoran lebih sedikit serta interaksi antar kumbang kotoran dan hewan mamalia yang lebih jarang [2] (Gambar 3C).
Sayangnya, perangkap berumpankan kotoran hanya menunjukkan apakah kumbang kotoran tertarik pada kotoran, tetapi tidak memberitahu apakah kumbang-kumbang ini memakan jenis kotoran tersebut. Kami hanya dapat menggunakan kotoran dari hewan mamalia yang dapat dengan mudah kami temukan, seperti hewan mamalia yang dipelihara di kebun binatang. Untungnya, metode laboratorium yang semakin mutakhir mempermudah kami untuk mengetahui jenis kotoran hewan apa yang dimakan oleh kumbang kotoran. Saat ini, kami membedah lambung kumbang kotoran untuk mengetahui materi genetis yang ada di dalamnya. Cara ini dapat menunjukkan jenis kotoran apa yang dimakan oleh kumbang sebelum ditangkap. Kami berharap cara kami ini menjelaskan hubungan antar hewan, terutama spesies mamalia langka atau sulit dipelajari, serta interaksi antar hewan mamalia dan kumbang kotoran yang hidup di hutan berkanopi.
KUMBANG KOTORAN DI DALAM EKOSISTEM PERTANIAN
Kumbang kotoran memiliki peran penting dalam ekosistem pertanian, dan banyak peneliti telah menyelidiki bagaimana kumbang kotoran ini bahkan mendukung produksi pangan [3]. Contohnya, lalat yang menggigit dan mengganggu sapi serta hewan ternak lain, meletakkan telur di dalam kotoran ternak. Larva lalat akan memakan kotoran tersebut setelah metas dari telur. Kumbang kotoran ini membantu menjaga hewan ternak menjadi lebih sehat dengan mengubur kotoran hewan sehingga lalat tidak menemukan kotoran untuk berkembang biak.
Kumbang kotoran ini membantu mengurangi infeksi parasit pada hewan ternak. Nematoda parasitik, yang tampak seperti cacing kecil, dapat termakan oleh hewan saat memakan rumput di padang rumput. Nematoda kemudian berkembang biak di dalam hewan dan telur nematoda dikeluarkan melalui kotoran. Ketika telur menetas, larva bermigrasi ke rumput dan termakan oleh hewan ternak yang akan meningkatkan laju infeksi. Selain itu, saat kumbang kotoran membuat terowongan di dalam kotoran, aktivitas ini dapat menyebabkan kotoran menjadi kering. Kotoran yang kering dapat membunuh telur dan mengurangi jumlah populasi nematoda di padang rumput sehingga semakin sedikit hewan yang terinfeksi. Proses membuat terowongan ini juga membantu daur hara dengan mencampurkan kotoran ke dalam tanah dan menjadikan unsur hara tersedia bagi tumbuhan. Kumbang kotoran berukuran kecil dan cukup tersembunyi sehingga petani atau peternak sering tidak menyadari kehadirannya di lahan mereka. Walaupun ukuran kumbang kotoran yang kecil, kehadiran serangga ini membantu menyelamatkan sekitar 367 juta poundsterling tiap tahun di Inggris [4]!
Kumbang kotoran ini peka terhadap cara pengelolaan padang rumput. Pada satu studi, peneliti mengumpulkan kumbang kotoran dari beberapa peternakan di Irlandia [5]. Mereka membandingkan keragaman kumbang kotoran antar lahan pertanian yang menggunakan pupuk dan insektisida buatan dengan kegiatan pertanian organik. Peneliti tersebut menemukan bahwa lahan organik memiliki kelimpahan kumbang kotoran yang lebih besar dan keanekaragaman spesies kumbang kotoran yang lebih kaya daripada lahan yang tidak dikelola secara organik. Di studi yang lain, kami lalu menemukan bahwa semakin kaya keragaman spesies kumbang kotoran, terjadi peningkatan pertumbuhan tumbuhan, tetapi tidak ada peningkatan jumlah kantong udara di dalam tanah [6].
Parasitisida juga merupakan ancaman bagi kumbang kotoran yang hidup di ekosistem pertanian. Parasitisida merupakan bahan kimia yang diberikan pada hewan ternak agar mereka terbebas dari parasit, seperti kutu dan nematoda. Parasitisida umum ditemukan atau dikeluarkan melalui kotoran sehingga bahan kimia ini juga mempengaruhi kumbang kotoran. Sayangnya, kami menemukan bahwa parasitisida yang umum digunakan pada hewan ternak juga membunuh kumbang kotoran atau membuat mereka berhenti berkembang biak. Ini mengurangi kesehatan dan jumlah kumbang kotoran serta jumlah kotoran yang dibenamkan ke dalam tanah [6]. Petani atau peternak dapat melindungi kumbang kotoran dengan mengurangi aplikasi parasitisida dengan hanya mengaplikasikan pada hewan memiliki banyak parasit atau memilih bahan aktif yang lebih aman pada kumbang kotoran.
KUMBANG KOTORAN YANG BERHARGA DAN MENAKJUBKAN
Kumbang kotoran sangat berharga karena berbagai perannya yang penting pada ekosistem alami dan pertanian serta bisa membantu kita mengetahui tingkat kesehatan ekosistem. Contohnya, karena kumbang kotoran berinteraksi dengan hewan mamalia, hilangnya beberapa spesies kumbang kotoran di hutan dapat menjadi peringatan akan hilangnya beberapa mamalia tertentu di hutan. Tanah dan tumbuhan yang sehat membutuhan hara yang cukup dan dapat dibantu penuhi oleh kumbang kotoran. Hilangnya kumbang kotoran dan hewan tanah lain karena bahan kimia atau gangguan akan menyebabkan tanah menjadi kurang subur dan biji dari banyak jenis tumbuhan tidak akan mampu tersebar atau tumbuh. Berbagai tingkah laku kumbang kotoran membuat mereka banyak dipelajari. Beberapa studi bahkan menemukan bahwa kumbang kotoran menggunakan Bima Sakti untuk navigasi hingga adanya tumbuhan yang berevolusi agar biji yang dimiliki beraroma seperti kotoran antelope agar biji disebarkan oleh kumbang kotoran! Oleh karena itu, keberadaan kumbang kotoran ini penting untuk tetap diawasi karena kamu tidak tahu apa yang akan kamu pelajari kemudian dari mereka.
GLOSARIUM
Keanekaragaman hayati
Keragaman dari makhluk hidup yang ada di bumi
Ekosistem
Komunitas hewan, tumbuhan, bakteri, dan jamur yang hidup di suatu lokasi bersama dengan komponen tidak hidup di lingkungan tersebut.
Fragmentation
Proses terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
Parasitisida
Bahan kimia yang diberikan pada hewan untuk membunuh parasit pada tubuh mereka
Bahan organik
Senyawa yang muncul dari sisa makhluk hidup yang telah mati, seperti tumbuhan, jamur, dan hewan
Resilien
Mampu untuk bertahan dari perubahan lingkungan
Nematoda
Kelompok cacing, juga dikenal sebagai cacing gelang, yang ditemukan di tanah atau air serta adapt menjadi parasit pada tumbuhan dan hewan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami berterimakasih kepada Chien C. Lee yang memperbolehkan kami menggunakan foto kumbang kotoran yang diambilnya di Sabah, Malaysia. Gambar dari Chien C. Lee dapat ditemukan di www.chienlee.com.
REFERENSI
[1] Raine EH, Slade EM. 2019 Dung beetle–mammal associations: methods, research trends and futuredirections. Proc. R. Soc. B 286: 20182002. doi:10.1098/rspb.2018.2002
[2] Ong XR, Slade EM & Lim MLM. Dung beetle-megafauna trophic networks in Singapore’s fragmented forests. Biotropica. In press. doi:10.1111/btp.12840
[3] Nichols, E., Spector, S., Louzada, J., Larsen, T., Amezquita, S., Favila, M., & The Scarabaeinae Research Network. (2008). Ecological functions and ecosystem services of Scarabaeinae dung beetles. Biological Conservation, 141, 1461-1474. doi:10.1016/j.biocon.2008.04.011
[4] Beynon, S. A., Wainwright, W. A., & Christie, M. (2015). The application of an ecosystem services framework to estimate the economic value of dung beetles to the UK cattle industry. Ecological Entomology, 40, 124-135. In review
[5] Hutton, S. A., & Giller, P. S. (2003). The effects of the intensification of agriculture on northern temperate dung beetle communities. Journal of Applied Ecology, 40(6), 994-1007.
[6] Manning, P., Slade, E. M., Beynon, S. A., & Lewis, O. T. (2017). Effect of dung beetle species richness and chemical perturbation on multiple ecosystem functions. Ecological Entomology, 42(5), 577-586.
EDITED BY: Helen Phillips, German Centre for Integrative Biodiversity Research (iDiv), Germany
CITATION: Manning P, Ong XR and Slade EM (2021) Soil Ecosystems Change With Time. Front. Young Minds. 9:543498. doi: 10.3389/frym.2021.543498
KONFLIK KEPENTINGAN: Penulis menyatakan bahwa manuskrip ini ditulis tanpa hubungan komersial, personal, atau finansial yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
COPYRIGHT © 2021 Manning, Ong and Slade. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (CC BY). The use, distribution or reproduction in other forums is permitted, provided the original author(s) and the copyright owner(s) are credited and that the original publication in this journal is cited, in accordance with accepted academic practice. No use, distribution or reproduction is permitted which does not comply with these terms.
YOUNG REVIEWERS
FDR-HB_PERU IGEM TEAM, USIA: 14 – 17
We are a synthetic biology team with the international Genetically Engineered Machine (iGEM) in Lima, Peru. We are the only high school team in Latin America and are proud of our work with creating a detector for cadmium using bacteria. Most of us are second language learners and the age range of our group is 14–17 years old. We love GMOs!
PENULIS
PAUL MANNING
Paul is a post-doctoral fellow at the Faculty of Agriculture at Dalhousie University. He holds a B.Sc. in agriculture from the Nova Scotia Agricultural College, and a D.Phil. in Zoology from the University of Oxford. He has been working on dung beetle ecology and toxicology since 2013. His research aims to understand how insect communities support ecosystem functions (like dung decomposition) in agricultural ecosystems. Paul is also interested in elevating public understanding and appreciation of insects through speaking to community groups, working with youth, and conducting research through participatory citizen science.
XIN RUI ONG
Xin Rui is a Ph.D. student at the Asian School of the Environment in Nanyang Technological University. She graduated from the National University of Singapore with a B.Sc. in Life Sciences, specializing in Environmental Biology. Xin Rui was first introduced to the fascinating world of dung beetles during her undergraduate years and is now studying the diversity of dung beetles and their interactions with mammal communities in Southeast Asia.
ELEANOR M. SLADE
Eleanor is an Assistant Professor at the Asian School of the Environment. She holds a B.Sc. in Zoology from the University of Leeds, a M.Sc. in Ecology from Aberdeen University, and a D.Phil. in Zoology from the University of Oxford. Eleanor is an ecologist whose research focuses on the conservation, management, and restoration of tropical forest landscapes and agricultural systems. She is particularly interested in invertebrates and has been studying dung beetles and their importance for healthy ecosystems for 17 years. Eleanor is also interested in using science to help inform policy and best practices in the oil palm industry.
PENERJEMAH
IGNATIUS PUTRA ANDIKA
Department of Biology, Faculty of Biotechnology, University of Atma Jaya Yogyakarta